Kedewasaan berdemokrasi kita memang perlu terus direnovasi, tidak hanya di kalangan pejabat publik, namun juga di kalangan masyarakat sipilnya. Ketika bom terjadi, termasuk hari-hari ini, baik di Cirebon Jawa Barat dan Tomohon Sulut (16/4/2011) peran intelijen dipertanyakan. Namun ironisnya, ketika ada ide pengaturan intelijen dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) intelijen di DPR-RI juga dihujat.
Upaya parlemen menghadirkan pengaturan dalam sektor intelijen sebenarnya merupakan langkah maju demokratisasi intelijen. Langkah ini merupakan upaya menegaskan diferensiasinya peran intelijennya dan menegaskan dirinya untuk melanjutkan demokratisasi dirinya ke arah yang sangat progresif.
Dua alasan sederhananya, pertama, Indonesia akan membingkai kerja intelijennya secara konstitusional dalam konstruksi keseimbangan “demokrasi-HAM-kebebasan sipil”. Kedua, lebih hebat lagi jika UU tersebut dapat merangkum roadmap masa depan intelijen tiga tahap ke depan, mulai dari demokratisasi, profesionalisme, hingga tahap diferensiasi peran antaraktor intelijen.
Peluang pematangan demokrasi tersebut tentu saja tidak sepenuhnya mulus dari hambatan. Arus tantangan terhebatnya justru terlihat dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi Pemerintah. Apa yang datang dari pemerintah sebenarnya dirasakan tidak solid, karena lebih mewakili nuansa libido ego-sektoral Badan Intelijen Negara (BIN) yang juga melemahkan Intelijen insitusi lainnya, seperti di Polri dan TNI. Inilah tantangan konsolidasi demokrasi dalam ranah intelijen yang perlu kita lalui, tarik-menarik gravitasi “negara intelijen” dengan “demokratisasi intelijen”.
Menuju Diferensiasi Intelijen
Masyarakat sipil Indonesia sejatinya ingin mengakhiri dirinya sebagai “negara intelijen”, di mana aktivitas intelijen tidak bisa diawasi oleh parlemen dan masyarakat, karena tidak ada aturan kenegaraan yang membingkainya. Dahulu, kita pernah menerapkan model di mana kebijakan preemtif sangat dominan dilaksanakan dan konsentrasi cegah-tangkal pada tahap potensi gangguan dan ambang gangguan sangat baik. Akan tetapi hal tersebut berdampak pada lemahnya legitimasi publik dan akhirnya berujung pada situasi enggan berbicara, berekspresi, berorganisasi. Negara menjadi anti-kritik (silent culture) dan mematikan nuansa demokrasi sejati. Sementara pendekatan “militer” yang tidak diseimbangi akurasi rekomendasi intelijen akan berakibat penindakan yang melahirkan lebih besar gangguan, karena respons pendekatan represif (hard-power). Misalnya dalam negara yang executive heavy, terlihat bahwa demokrasi dijalankan dengan slogan “semu” karena supremasi sipil yang lemah. Mengumbar jargon demokrasi untuk bergaul di tingkat dunia, padahal praktiknya mempraktikkan oligarki-feodalis-otoritarian.
Demokrasi sebenarnya lebih menghendaki model fragmentasi wewenang dan kontrol kepada beberapa aktor intelijen daripada memberikannya pada satu institusi saja. Alasannya sederhana, karena sejak awal demokrasi menghendaki perimbangan kekuasaan dan itu tidak mungkin wujud jika ada “superbody” intelijen. Memang didalamnya terdapat konsekuensi kegaduhan opini sebagai ujian penegakan hukum. Akan tetapi akuntabilitas dan profesionalitas pelaksanaan akan meraih dukungan penuh masyarakat sipil.
Oleh karena itu, keinginan pemerintah untuk menjadikan UU intelijen sebagai legitimasi penguatan wewenang BIN agaknya perlu ditinjau ulang. Apa yang seharusnya terjadi seperti mewujudkan Lembaga Koordinasi Intelijen Nasional (LKIN) justru malah ditentang. Pokok pikiran yang perlu didudukkan ialah paradigma bahwa komunitas intelijen ideal itu seharusnya setara dan hanya berbagi fungsi yang terdiferensiasi menjadi intelijen nasional (BIN), intelijen militer (TNI), intelijen keamanan (Polri), intelijen institusional (imigrasi, beacukai, kejaksaan) dan intelijen pendukung lainnya.
Bahaya paling besar dalam pembahasan semacam ini memang kontestasi ego-sektoral. Seperti keinginan menjadikan posisi BIN dalam LKIN sebagai superordinat. Begitupun antar aktor intelijen yang ada, terdapat kesan tendensi mengerdilkan makna dari institusi lain, seperti usulan pengubahan nomenklatur Intelijen Keamanan (Intelkam) Polri menjadi Intelijen Kriminal (Intelkrim) Polri. Ini dapat membawa konsekuensi penyempitan kerja intelijen pada struktur gangguan keamanan, karena istilah “kriminal” merupakan kondisi setelah Gangguan Nyata (GN) terjadi, bukan pada saat masih Potensi Gangguan (PG) dan Ambang Gangguan (AG).
Pengawasan Konsentrik
Pembagian peran dibutuhkan, tidak hanya dalam hal penugasan UU dalam menjalankan fungsi intelijen, namun juga dalam membagi peran pengawasan. Demokrasi menghendaki pengawasan konsentrik atau berlapis baik dari eksekutif, parlemen, ataupun masyarakat sipil.
Dalam masyarakat demokrasi, eksekutif yang mengawasi intelijen itu diwujudkan dalam lembaga seperti LKIN yang dikoordinir oleh “Analis Pratama” dari kalangan sipil. Sementara parlemen perlu diberikan ruang yang sangat spesifik untuk intelijen, misalnya dengan hadirnya SubKomisi Intelijen. Tujuannya agar informasi intelijen yang bersifat strategis dapat diawasi oleh anggota SubKomisi di bawah sumpah. Inilah ruang yang dalam DIM versi pemerintah belum diberikan. Setelah itu barulah elemen masyarakat sipil jadi lebih berdaya dalam memainkan perannya.
Jika pengawasan eksekutif dan parlemen tidak dipayungi konstitusi maka sangat berat mengharapkan masyarakat sipil akan mendapatkan ruang untuk melakukan pengawasan melekat (waskat) terhadap aktivitas intelijen. Dalam ide demokrasi, Lembaga Swadaya Masyarakat harusnya didorong tumbuh dan produktif, karena intelijen memang harus terus diawasi agar dapat mewujudkan kebebasan sipil yang hakiki, bukan sebaliknya.
Konsekuensi Kewenangan
Ide pengawasan berlapis tersebut sebenarnya terkait dengan logika perimbangan kekuasaan. UU intelijen hendak didorong untuk menginjeksi kewenangan pada tubuh intelijen agar dapat optimal melakukan intersepsi dan meningkatkan kapasitasnya menjaga kerahasiaan informasi intelijen. Akan tetapi, sangat tidak rasional jika tidak diikuti aturan konsekuensi pengawasan berlapis yang juga sama besar. Demokrasi tidak pernah menghendaki kekuasaan personal atau kelompok dapat menjelma seenaknya dalam bentuk kebijakan lembaga atau negara.
UU intelijen adalah simbol demokratisasi dalam ranah intelijen. Ia sepatutnya menjadi legitimasi hukum untuk sebuah kerja intelijen yang ditingkahi lampu sorot tajam dari berbagai macam arah, mendorong kapabilitas dan koordinasi intelijen lebih baik. Ia akan semakin sempurna jika mencakup cita-cita diferensiasi intelijen yang profesional, akurat, dan bekerja untuk keadilan. UU intelijen selamanya tidak boleh menjadi artifisial pembenaran “negara intelijen” yang terwakili oleh BIN saja. Judul “intelijen negara” selayaknya menjadi milik komunitas intelijen seluruhnya untuk keamanan bangsa seutuhnya.
Arya Sandhiyudha AS
Kabid. Riset GLOCAL Institute
Master dalam bidang Strategic Studies dari S.Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura.
0 komentar:
Post a Comment