Kejadian mengenaskan yang menimpa salah satu politisi partai politik yang diduga telah dianiaya hingga tewas oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan sebagai penagih utang atau “debt collector” dari salah satu bank swasta, nampaknya menjadi pecutan keras bagi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral untuk memperbaiki pengaturan dan pengawasan penagihan kredit macet di negeri ini.
Yang menjadi pertanyaan adakah yang salah dari profesi debt collector itu sendiri? Tentu saja tidak, pasal 1792 KUH Perdata (Burgerlijk Wetbook) tentang pemberian kuasa untuk melakukan suatu urusan/pekerjaan, sudah menggariskan dasar hukum sahnya pemberian kuasa, dalam hal ini Bank kepada debt collector untuk melakukan penagihan pada konsumen kartu kredit yang lalai dalam membayar kewajiban utangnya. Yang tidak tepat dan perlu untuk segera dibenahi adalah cara-cara melakukan penagihan itu sendiri, yang tidak boleh melanggar hak asasi, privasi, keamanan, dan ketenangan seseorang untuk hidup.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat kita dikenal sangat konsumtif, begitu ada penawaran discount/potongan harga atau kemudahan berbelanja dari pelaku usaha yang bekerja sama dengan bank tertentu, maka masyarakat menganggap suatu promosi barang tersebut sebagai suatu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Itulah sebabnya bisnis kartu kredit adalah bisnis yang akan tetap dipertahankan bank, karena sekalipun pembayaran kredit tersebut macet, nampaknya bank sudah bisa “balik modal” dari bunga atau biaya administrasi dari layanan kartu kredit yang dibebankan kepada konsumen.
Di sisi lain ternyata banyak iming-iming dari para pengacara yang mengaku sebagai pengacara spesialis menangani masalah kartu kredit, yang menyatakan tagihan konsumen yang tidak mampu membayar tersebut dapat dialihkan penagihannya kepada pengacara tersebut, sehingga utang tersebut tidak dapat tertagih oleh Bank. Padahal secara hukum perdata sifat dari utang itu adalah kekal, sampai utang tersebut benar-benar dapat dibayar oleh si kreditur kepada Bank (Vide Pasal 1131 KUH Perdata), bahkan utang seseorang tersebut dapat diwariskan, atau dengan kata lain dapat menjadi tanggungan ahli warisnya.
Lalu mengapa Bank menggunakan debt collector untuk melakukan penagihan kepada konsumen yang macet pembayarannya? Jawabannya adalah karena Bank berpikir secara ekonomis dan efisien, hal ini berbanding terbalik dengan sistem hukum acara perdata di pengadilan yang terlalu “ribet” dan akan memakan waktu yang lama. Bayangkan saja jika Bank melakukan upaya hukum gugatan wanprestasi ke pengadilan negeri atas adanya kredit macet yang jumlahnya hanya 20 juta, maka Bank akan kehabisan dana untuk meng-“hire” pengacara dan kemungkinan akan memakan waktu sekitar 3-4 tahun (Pengadilan Negeri-Pengadilan Tinggi-Mahkamah Agung) sampai putusan atas gugatan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dengan adanya fenomena kasus dugaan penganiayaan konsumen kartu kredit oleh debt collector belakangan ini, maka secara tergesa-gesa Bank Indonesia langsung ingin menetapkan atau memperbarui standar-standar penagihan kartu kredit macet. Penulis berpendapat hal ini kurang efektif, selain berpotensi mengulang kasus yang serupa, pengawasan penagihan di lapangan juga sangat minim. Tentunya tidak ada cara lain selain memperbaiki sarana hukum yang ada. Ketidakpercayaan Bank terhadap hukum telah membuat Bank mencari-cari “solusi” lain untuk mengatasi kredit macet, antara lain dengan menggunakan jasa debt collector.
Alangkah baiknya jika DPR, Mahkamah Agung dan Bank- serta ahli-ahli perbankan dapat duduk bersama untuk memikirkan masalah ketidakpercayaan terhadap hukum ini, misalnya dengan membuat Undang-undang Pengadilan Kredit Macet sebagai pengadilan khusus, yang hukum acaranya mengatur proses yang lebih murah, cepat dan efisien. Sehingga masalah kartu kredit macet bisa diselesaikan dengan cara-cara hukum dan manusiawi.
Tentunya dalam hal ini debt collector juga tidak akan kehilangan lapangan pekerjaan, karena sebelum Bank membawa masalah kredit macet ke Pengadilan Kredit, Bank dapat menggunakan jasa dari debt collector untuk melakukan penagihan awal yang lebih manusiawi dan tidak melanggar hukum.
Albert Aries, SH, MH
Praktisi Hukum
0 komentar:
Post a Comment