SETIAP Bank pasti berceloteh sisitem yang digunakan sangat aman bagi nasabah. Dengan nyanyian tersebut, rayuan pihak bank kepada nasabah pun super ampuh. Nasabah pun percaya menyimpan uang di bank yang sesumbar memberi jaminan tersebut.
Wajar bila bank menyatakan sistem yang mereka miliki canggih. Memang demikian untuk standard bank di era modern saat ini. Tapi keamanan di tingkat mesin atau jaringan sama sekali tidak memberikan rasa aman, ya minimal 90 persen. Buktinya kasus pembobolan bank marak di Indonesia.
Sedikitnya ada sembilan bank yang mengalami kasus pembobolan dan tengah ditindaklanjuti aparat kepolisian. Sebut saja pembobolan kantor kas BRI Taman Mini Square Rp29 miliar, yang melibatkan supervisor bank berinisial AM dan pembobolan yang dilakukan mantan Relationship Manager Citigold Citibank, Malinda Dee.
Citibank, PT Bank Mandiri Tbk, Bank Syariah Bukopin yang mengadu ke Bank Indonesia (BI), kini giliran deposito Elnusa senilai Rp111 miliar di Bank Mega dibobol orang dalam. Bank Indonesia menegaskan kasus ini juga melibatkan oknum pegawai bank.
Fakta ini bisa ditarik kesimpulan bahwa sistem pengamanan canggih yang dimiliki setiap bank tidak akan mampu meredam pembobolan yang tengah menjadi tren. Pasalnya sebagian besar pembobolan bank di Tanah Air dilakukan oknum karyawan secara individu atau melibatkan orang luar.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pengawasan bank di Indonesia harus mengambil langkah tegas dengan menentukan aturan super ketat yang wajib dilakukan setiap bank. Poin ini diberlakukan untuk sistem teknologi yang mampu mencegah aksi amoral oknum pegawai bank.
Kemudian BI menginstruksikan setiap bank menjalankan audit internal. Karena cenderung melibatkan orang dalam, maka setiap bank juga diwajibkan menjalani tes kejiwaan karyawannya minimal tiga tahun sekali. Dalam kurun tersebut setiap bank juga melakukan rolling antarcabang dan posisi berbeda kepada karyawannya.
Setidaknya rolling dilakukan bagi karyawan yang hasil tes kejiwaannya menunjukkan adanya indikasi negatif. Bila karyawan dengan kejiwaan kurang baik diberikan keleluasaan, maka bank bersangkutan tinggal menunggu waktu terjadinya kasus seperti ini. Tingkat pengawasan internal bank harus maksimal memantau individu seperti dengan kejiwaan terganggu.
Cara rolling antarcabang dalam kurun waktu tidak lama juga bisa mencegah terjadinya pembobolan tersebut. Maklum, pelaku pembobol bank merupakan karyawan yang sudah mengetahui seluk beluk bank. Artinya karyawan tersebut tidak memiliki banyak ruang gerak untuk melancarkan satu rencana.
Kemudian, pemerintah perlu mengajukan revisi undang-undang yang misalnya berisi hukuman minimal 15 tahun bagi karyawan yang terbukti membobol dana nasabah. Dengan payung hukum yang tegas dan ekstrim, setiap karyawan pasti akan berpikir ulang untuk melancarkan pembobolan.
Lemahnya payung aturan yang menjadi bukti mengapa bank di Indonesia mudah dibobol. Pengawasan internal bank lemah. Tidak ada langkah antisipasi untuk mencegah karyawan dengan moral iblis menjalankan aksinya. Padahal, sebagian besar pembobolan melibatkan orang dalam. Artinya, pengawasan internal dan peraturan pendukung seperti tes psikologi dan sistem roling antarcabang dengan divisi berbeda harus diberlakukan.
Dengan pola ini kemungkinan regenerasi oknum karyawan bank dengan moral iblis bisa diredam dan bisa saja punah. Nasabah pun akan nyaman menyimpan uangnya. Kemudian tingkat kepercayaan bank di Indonesia sangat tinggi. Hal ini bisa berdampak bagi perekonomian di Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment