AKHIR-akhir ini kita terperangah dengan berbagai kejadian di Tanah Air. Mulai teror bom buku yang sepertinya berentetan tak berujung. Kemudian berita hilangnya sejumlah pelajar dan mahasiswa yang diduga sengaja dicuci otaknya, ledakan bom di Cirebon, hingga penemuan bom di Serpong seberat 150 Kg.
Dari uraian sejumlah pengamat, masih ada dua spekulasi mengenai siapa di balik serangkaian aksi itu. Kenapa masih spekulasi, karena memang berbagai pernyataan itu masih bersifat awal dan perlu ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan.
Spekulasi pertama menyebutkan bahwa aksi teror dan cuci otak ini dilakukan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Mereka tengah gencar untuk membangun eksistensinya kembali setelah sepanjang Orde Baru kekuatan mereka berhasil dicerai-beraikan. Indikasi keterlibatan NII di antaranya adalah, sejumlah mahasiswa yang dicuci otaknya selalu diminta sumbangan uang. Bahkan mereka pun diminta berbohong kepada orangtuanya, hanya sekadar untuk mendapatkan uang, sebagai bagian dari sumbangan itu.
Namun lagi-lagi, hingga kini aparat keamanan, belum mengamini secara jelas tentang kemungkinan keterlibatan kekuatan NII ini.
Spekulasi kedua menyebutkan bahwa di balik aksi teror dan cuci otak ini dilakukan oleh kelompok terorisme baru yang tidak berafiliasi dengan jaringan sebelumnya. Indikasinya, mereka masih sangat amatir dalam melakukan teror. Misalnya saja peledakkan bom di Cirebon, justru aksi ini mendapat kecamanan karena diledakkan di masjid. Demikian juga teror bom di Serpong dan bom buku, yang terkesan hanya mencari sensasi dan ingin "diliput" oleh media baik dalam negeri dan luar negeri.
Melihat masih samarnya siapa di balik pelaku aksi teror ini, hal yang sebenarnya bisa dijadikan benang merah adalah, masih suburnya isme radikal di tengah masyarakat. Kenapa? Karena memang ruang gerak bagi isme ini masih begitu longgar. Tak heran jika mereka pun dengan leluasa melakukan pengkaderan (lewat cuci otak) bahkan pelatihan.
Sayangnya sikap tegas dari negara melalui perangkatnya hingga kini juga belum terlihat. Sepertinya Negara masih gamang untuk menindak mereka yang tergolong memiliki isme radikal. Padahal sudah jelas, isme-isme itulah yang membuat negeri ini penuh teror.
Demikian juga dengan para tokoh agama. Mereka mengecam aksi teror dan isme radikal ini. Namun semuanya masih dalam bingkai wacana. Padahal semestinya mereka sebagai patron masyarakat, lebih berani melakukan aksi nyata untuk menentang isme ini.
Sebagai penutup, Negara dan juga tokoh agama, perlu segendang sepenarian untuk menghambat isme radikal ini. Supaya Negara tidak disebut "membiarkan" kekacauan ini langgeng. Demikian juga tokoh agama tidak disebut "membiarkan" umat berada dalam kesesatan, baik kesesatan berpikir, kesesatan keimanan, maupun kesesatan dalam perilaku.
0 komentar:
Post a Comment