Thursday, April 21, 2011

AS dan Perdamaian Demokrasi

Salah satu alasan utama intervensi militer Amerika Serikat (AS) dan para sekutunya di Libya selain membebaskan rakyatnya dari kekejaman diktator Khadafi adalah untuk mengubah sistem pemerintahan di Libya, dari sistem otoriter ke sistem demokrasi.

Presiden Barack Obama dan presiden AS pada umumnya mempercayai bahwa, “harapan terbaik bagi terwujudnya perdamaian dunia adalah dengan melakukan ekspansi kebebasan/demokrasi ke seluruh seluruh dunia. Mereka juga percaya, bahwa insting agresif pemerintahan diktator militer dapat menyebabkan perang.”

Karena itu adalah wajar jika AS bernafsu untuk menyingkirkan diktator Khadafi dari tampuk kekuasaan di Libya dengan harapan, Libya yang demokratis dapat menjadi teman atau sahabat bagi AS.

Teori

Teori yang membentuk ide tentang pentingnya demokrasi dalam mewujudkan perdamaian dunia datang dari pemikiran filsuf Jerman Immanuel Kant. Karyanya Zum Ewigen Frieden: Ein Philosophischer Entwurf (1795),  menerangkan keterkaitan antara sistem politik republik dengan perdamaian abadi. “Republik” yang disebut oleh Kant adalah “demokrasi” yang kita kenal saat ini.

Menurut Kant, dalam sebuah republik (negara hukum demokratis), di mana kebijakan politik setiap negara ditentukan menurut kehendak warga negara, dan bukan kehendak seorang diktator, hubungan antar-negara akan terbiasa dengan harmoni dan bukannya konflik.

Penjelasan Kant sederhana, “Apabila persetujuan warga negara dibutuhkan dalam memutuskan pernyataan perang (dan ini menjadi ketentuan dalam konstitusi demokrasi), tidak ada yang lebih alamiah daripada kenyataan bahwa warga negara akan sangat berhati-hati untuk memutuskannya, karena hal itu dapat menjerumuskan mereka ke dalam malapetaka. Malapetaka tersebut meliputi: keharusan untuk bertempur, mengorbankan sumber daya yang dimiliki, memperbaiki kehancuran akibat perang, dan menyebabkan negara terbebani dengan besarnya utang untuk membiayai perang.

Sebaliknya pada pemerintahan diktator, di mana kewenangan kebijakan bukan dibuat berdasarkan keinginan warga negaranya, negara cenderung menceburkan diri pada perang.

Oleh sebab itu, ketika keinginan agresif pemerintahan diktator dapat dikendalikan dan ketika kebiasaan untuk menghargai hak-hak individu dari warga negara diterapkan melalui pemerintahan demokrasi, maka perang akan terlihat sebagai bencana bagi kemanusiaan dan warga negara cenderung menghindari hal ini. Dan jika semua negara menganut sistem demokrasi, di mana perang akan selalu dihindari, maka dunia akan masuk ke dalam era perdamaian abadi.

Dalam literatur ilmu hubungan internasional, ide Kant ini dikenal sebagai teori perdamaian demokrasi, yakni teori yang menjelaskan bahwa negara demokrasi tidak akan saling berperang satu sama lain, atau dalam kalimat Michael W. Doyle di Jurnal Philosophy & Public Affairs (1983), “even though liberal states have become involved in numerous wars with nonliberal states, constitutionally secure liberal states have yet engage in war with one another”.

Fakta

Dengan bersandar pada warisan pemikiran filosofi Kant tentang perdamaian demokrasi, para pemimpin eksekutif di AS menilai bahwa negara yang dapat dijadikan teman atau sahabat baginya adalah negara yang telah menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, sementara negara non-demokrasi adalah negara yang tidak akan pernah bersahabat dan selalu menunjukkan sikap permusahan terhadap AS.

Untuk kasus perang di Libya, intervensi militer AS untuk menyingkirkan diktator Khadafi dalam konteks teori perdamaian demokrasi tampak valid. Karena dalam sejarah tercatat, beberapa kali diktator Khadafi (rezim non demokrasi) menunjukkan sikap permusuhan terhadap AS (negara demokrasi) dengan mensponsori sejumlah aksi teroris. Kasus peledakan klab malam di Berlin, jerman, pada 5 April 1986, yang didalangi oleh Khadafi membuat Presiden AS Ronald Reagen marah dan menjuluki Khadafi sebagai ”Anjing Gila”. Dalam insiden tersebut setidaknya 3 orang terbunuh, 229 luka-luka, dan lebih dari 50 orang tentara Amerika juga ikut menjadi korban. Atas perbuatannya tersebut Presiden Reagen akhirnya menghujani Tripoli dan Benghazi dengan serangan bom pada 14 April 1986.

Selang dua tahun kemudian (1988), terjadi lagi tragedi peledakkan serupa. Kali ini ledakan dilakukan oleh agen-agen Khadafi terhadap pesawat Pan American yang terbang di wilayah udara Lockerbie, Skotlandia. Ratusan penumpang dan awak pesawat tewas dalam insiden tersebut.

Yang menjadi persoalan adalah, ternyata sejarah juga mencatat AS pernah menjadikan negara non demokrasi sebagai sahabatnya tetapi bisa dipercaya seperti Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Singapura, Indonesia di era Soeharto, Tito dari Yugoslavia, Salazar dari Portugal,  Franco dari Spanyol, dan banyak negara Amerika Latin sebelum tren demokrasi muncul disana. Pemerintahan diktator mungkin tidak stabil, tetapi itu bukan berarti AS dapat dengan mudah melepaskan mereka sebagai sekutu jika memang menguntungkan (John L. Harper, 1997).

Begitupula dengan rezim demokrasi, yang tidak serta merta dapat menjadi mitra yang bersahabat dengan AS. Pada tahun 1970, misalnya, AS justru terlibat konflik dengan Salvador Allende dari Cili yang merupakan rezim demokrasi paling stabil di Amerika Selatan saat itu. Konflik dipicu setelah Allende memberlakukan serangkaian kebijakan radikal dalam bidang ekonomi: nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, nasionalisasi perbankan, peningkatan upah buruh, alokasi anggaran yang besar pada sektor pendidikan dan kesehatan, program susu gratis bagi anak-anak, menolak pembayaran utang luar negeri, dan memberlakukan kebijakan land reform. Dalam waktu singkat, seluruh kebijakan radikal ini telah menjadikan Allende sebagai ancaman terbesar bagi kepentingan ekonomi pemerintah AS yang investasi swasta langsung perusahaan-perusahaannya di Cili mencapai USD1,1 miliar. Karena itu, Washington pun berupaya keras menjatuhkan Allende dengan mendukung rival politiknya, Augusto Pinochet yang diktator. Atas tindakannya tersebut, AS justru memberikan jalan bagi Pinochet untuk memimpin pemerintahan diktator militer di Cile selama lebih dari lima belas tahun.

Dengan fakta ini, tentu kita dapat mengatakan bahwa AS tidak pernah memandang hubungannya dengan negara lain berdasarkan logika “sebagai sesama negara demokrasi”, tapi berdasarkan kepentingan semata. Atau dalam bahasanya John L. Harper di Jurnal Foreign Affairs (May-June, 1997), disebut “a Friend in Need...”. AS akan berteman atau bersahabat dengan negara manapun selama menguntungkan dan tidak menunjukkan sikap permusuhan.

Karena itu, upaya AS dan sekutunya dalam melengserkan diktator Khadafi harus dinilai berdasarkan fakta di atas. Andaikan saja Khadafi bersahabat dengan AS dan selalu menunjukkan sikap bersahabat dengan memberikan akses minyak seluas-luasnya, mungkin kita tidak akan pernah menyaksikan intervensi militer AS dan sekutunya seperti apa yang terjadi pada saat ini.

Tapi karena Khadafi adalah diktator yang tidak bersahabat dengan AS, ditambah lagi dengan aksi kejam Khadafi terhadap rakyat Libya, maka intervensi militer AS dan sekutunya mendapat momentum yang tepat dengan dalih untuk membebaskan rakyat Libya dan menjadikan Libya sebagai negara yang bebas dan demokratis.
Kesimpulannya adalah Jika Khadafi lengser dan Libya menjadi demokratis,  logika perdamaian demokrasi yang mungkin terwujud antara AS dan Libya tetap harus dipahami dalam konteks sikap bersahabatnya Libya terhadap AS dan bukan didasarkan atas kesamaan ideologi demokrasi semata.

Asrudin
Penulis adalah pengamat hubungan internasional & analis media sosial di LSI Network

0 komentar:

Post a Comment