Polemik pembangunan gedung baru DPR sepertinya tidak berkesudahan, meski sudah ditentang oleh banyak pihak sejak beberapa bulan lalu, namun rencana pembangunan itu terus jalan. Dan ketika ditentang lagi, maka rencana itu menjadi ditimbang-timbang lagi. Begitu seterusnya, muncul, tenggelam, dan kemudian muncul lagi.
Pembangunan gedung baru direncanakan, menurut Ketua DPRRI Marzukie Alie, dilandasi bahwa rencana itu merupakan rencana DPR periode sebelumnya. Pembangunan itu disebut untuk lebih mendukung peningkatan kerja anggota DPR. Gedung yang selama ini, Gedung Nusantara I, dirasa sudah tidak mencukupi untuk bekerja.
Kalau dilihat secara fakta dan hitungan, Gedung Nusantara I, memang terjadi kelebihan beban. Dihitung dari kapasitas memang terjadi kelebihan penghuni, karena anggota DPR saat ini memiliki staf ahli 2, dulu 1. Ditambah sekretaris 1 berarti dalam satu ruang ada 4 orang, satunya lagi anggota DPR itu sendiri. Total penghuni Gedung Nusantara I ada sekitar 2240 orang, itu belum ditambah dengan staf ahli fraksi, office boy, security, dan staf ahli tambahan lainnya dari anggota DPR. Tentu Gedung Nusantara I akan semakin kelebih beban apabila staf ahli masing-masing anggota sebanyak 5 orang.
Kelebihan beban itu juga nampak begitu padatnya lalu lintas di Gedung Nusantara I. Untuk menuju dari lantai ke lantai melalui lift harus antre begitu lama. Sehingga banyak penghuni untuk bisa masuk ke lift harus mencari akal, seperti menuju basement atau naik ke lantai paling atas lebih dahulu. Kelebihan beban penghuni menunjukan seolah-olah memang Gedung Nusantara I sudah tidak mewadahi.
Namun menjadi pertanyaan apakah bila gedung baru itu dibangun benar-benar akan meningkatkan produktivitas anggota DPR? Nah itu yang menjadi pertanyaan banyak pihak. Seorang tukang bajaj, ketika ditanya oleh sebuah media mengenai pembangunan gedung baru itu mengatakan, kalau bisa membuat dirinya lebih mudah cari rezeki dan menurunkan harga-harga kebutuhan jadi lebih murah, silakan dirikan gedung baru. Tapi, kalau tidak, untuk apa?
Namun harapan sang tukang bajaj yang ingin nasibnya diperjuangkan itu sepertinya susah terpenuhi. Alasannya, kapasitas anggota DPR sepertinya belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Kapasitas-kapasitas anggota DPR saat ini adalah. Pertama, pemilu 2009 masih banyak menghasilkan wajah lama. Dengan sistem suara terbanyak atau nomer urut, wajah-wajah lama masih mampu memenangi pemilu.
Namun masalahnya kinerja mereka sebagai wakil rakyat, tidak berbeda dengan pengalaman periode sebelumnya. Produk legislasi yang terbilang rendah, produk undang-undang yang dihasilkan saling-silang, korupsi, bolos sidang, dan lebih suka melakukan studi banding terulang dalam periode DPR masa ini.
Dalam Periode 2009-2014, sebuah catatan menunjukan produktivitas anggota DPR dalam setahun pertama masa tugas periode 2009-2014 masih sangat rendah, baru menyelesaikan lima RUU dari 70 yang diproritaskan dalam Program Legislasi Nasional. Padahal target prolegnas 2010 adalah 70 RUU, sehingga masih ada 65 RUU yang molor penyelesaiannya.
Ini bisa terjadi karena salah satunya disebabkan oleh kebiasaan lama oleh anggota lama. Pada tahun 2008 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai kinerja legislasi DPR 2004-2009 buruk. Dari target 284 rancangan undang-undang (RUU) hanya 60% yang diselesaikan. Dari jumlah itu diprediksi hanya 170 undang-undang.
Terpilihnya anggota lama menjadi anggota DPR masa ini bukan karena faktor kesalahan pemilih, namun sang anggota yang mempunyai kinerja sebagai wakil rakyat yang buruk itu tetap ngotot mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Seharusnya mereka tahu diri sejauh mana mereka bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat. Kalau dilihat dari perilaku anggota DPR periode kemarin, sebenarnya masyarakat sudah bisa menilai. Namun, misalnya money politic, maka kesekian kalinya mereka terpilih lagi.
Kedua, Terbukti partai politik yang mengajak artis-artis sebagai calegnya mampu mendulang suara yang signifikan. Figur yang ganteng, cakap, dan lucu ternyata merupakan penampilan yang menarik bagi masyarakat, sehingga masyarakat pun berduyun-duyun mencontrengnya. Namun, yang menjadi pertanyaan, sejauh mana kapasitas dan kemampuan para artis itu dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat? Mereka akan bingung, gugup, dan kelihatan linglung dalam dunia yang selama ini baru baginya. Dunia politik merupakan dunia yang sangat jauh dari dunia keartisan. Mereka yang biasanya bekerja dalam dunia akting, glamor, sebagai presenter atau master of ceremony (MC), tiba-tiba harus bersentuhan dengan dunia yang penuh intrik, adu debat, lobi-lobi, menyerap aspirasi, dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Apabila mereka tidak sanggup, tentunya mereka akan lebih banyak dikendalikan oleh parpolnya dan bisa jadi mereka lebih cenderung bolos sidang. Sebab, mereka tidak menguasai masalah atau bahan-bahan yang harus dikerjakan. Apabila demikian yang terjadi, aspirasi dan perjuangan yang diamanatkan rakyat kepada mereka tidak akan bisa dilakukan.
Bukti dari kurang optimalnya artis adalah, yang menjadi perdebatan bukan masalah fungsi pengawasan, anggaran, atau legeslasi, namun masalah pribadi. Buktinya perseteruan antara Eko Patrio, anggota DPR dari PAN, dengan Pramono Anung, Wakil Ketua DPR dari PDIP, bukan masalah tiga fungsi DPR, namun masalah pribadi.
Ketiga, banyak anggota DPR dalam setiap bekerja yang dipikirkan adalah hanya uang. Mereka pastinya senang menjadi anggota DPR, namun mereka berpikir bagaimana uang yang selama ini dihabiskan untuk kampanye dan money politic bisa kembali secepat mungkin. Nah, di sinilah letak kerawanan terhadap pelanggaran hukum. Mereka jauh-jauh hari sudah mempunyai niat agar uang yang sudah dikeluarkan kembali dengan cepat. Cara yang paling cepat atau jalan pintas ialah dengan melakukan korupsi.
Meski sudah banyak anggota DPR yang ditangkap dan dipermalukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun pelajaran itu tidak membuat jera. Dengan alasan dibebani utang yang banyak, merealisasi janji dalam bentuk materi kepada konstituen, dan untuk memperkaya keluarganya, maka tindakan-tindakan korupsi tetap saja dilakukan. Korupsi yang dilakukan anggota DPR saat ini bisa saja lapang jalan, sebab RUU Tipikor saat melapangkan seseorang untuk tidak takut korupsi. Toh kalau terjerat hukum mereka tidak dikenai hukuman mati dan bisa lepas bila mengembalikan uang hasil korupsinya itu.
Dengan ketiga sifat anggota DPR se perti diuraikan di atas, maka bila kelak gedung baru berdiri, sepertinya tidak akan memberi manfaat yang banyak, tidak akan memperjuangkan apa yang seperti diinginkan oleh tukang bajaj tadi. Sepertinya langkah apapun yang dilakukan untuk meningkatkan produktifitas, dari membangun gedung baru hingga menambah staf ahli, tidak akan menambah produktifas kerja anggota DPR sebelum mental mereka berubah.
Ardi Winangun
Pengamat Politik dan Pengurus Presidium Nasional Masika ICMI
0 komentar:
Post a Comment