Wednesday, April 27, 2011

Demokrasi Prosedural atau Substansial?

Salah satu instrumen guna mengukur kualitas demokrasi sebuah bangsa, apakah hanya prosedural atau substansial, variabel terpenting yang harus dilihat adalah bagaimana pelaksanaan pemilu yang dilangsungkan di negara bersangkutan. Pemilu menjadi indikator utama, karena dalam proses inilah pelaksanaan demokrasi secara nyata bisa dilihat. Melalui pemilu berkala, sirkulasi kekuasaan politik dapat terdistribusi secara teratur. Dengan keteraturan ini, kekuasaan politik yang ada tidak kemudian menjadi absolut karena terus berganti dalam jangka waktu tertentu. Kekuasaan politik absolut merupakan musuh bersama dari semua negara demokrasi. Itu disebabkan oleh adanya adagium populer yang dikeluarkan oleh Lord Acton “power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutly”. Kekuasaan memberikan kencenderungan untuk disalahgunakan. Dan kekuasaan absolut, sudah pasti akan diselewengkan.

Jika indikator di atas yang dipakai untuk mengukur kualitas demokrasi, Indonesia boleh berbahagia. Hingga usia reformasi menginjak angka 12 tahun, sirkulasi kekuasaan politik, baik dari tingkat nasional hingga ke daerah, telah berjalan sesuai mekanisme demokrasi. Akan tetapi, pada proses sirkulasi kekuasaan politik nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2014, khususnya dalam pemilu untuk memilih anggota legislatif, kini sedikit mendapat ancaman serius. Suara rakyat akan semakin terabaikan seiring dengan wacana revisi UU NO. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam draft revisi Undang-undang ini, penetapan Parliamentary Threshold (PT) yang pada pemilu 2009 hanya berlaku di tingkat nasional, akan diberlakukan flat secara nasional.

19 Juta Suara

Kebijakan penetapan PT dalam UU Pemilu, sebetulnya dimaksudkan untuk mereduksi menjamurnya jumlah partai politik yang ada. Banyaknya jumlah partai politik, dipandang menyulitkan sistem pemerintahan kita yang menganut model presidensial. Dalam model ini, presiden kerap kali kesulitan menelurkan keputusan politik karena berbelit-belitnya urusan di DPR. Hal itu disebabkan banyaknya kepentingan seiring banyaknya jumlah perwakilan partai politik di DPR. Itu sebabnya, penyederhanaan jumlah partai politik, diyakini akan mendukung pemberlakukan model presidensial yang kita anut secara efektif.

Akan tetapi, formula yang dipakai untuk penyederhanaan partai melalui kebijakan PT pada pemilu 2009 yang lalu, sebetulnya telah menyembulkan protes serius. Dengan pemberlakuan PT sebesar 2,5% untuk pengisian kursi DPR-RI, telah mengorbankan sebanyak 19 juta suara yang tidak terkonversi menjadi kursi. Jika dipersentasi, jumlahnya mencapai 18,3% dari jumlah suara sah yang ada. Angka ini menempati posisi kedua dalam perolehan suara nasional partai-partai. Jumlah ini hanya kalah dengan Partai Demokrat yang memperoleh suara 20,8% dan mengalahkan suara Partai Golkar dan PDI-P sebesar 14%. Itu artinya, 19 juta suara yang telah memilih wakilnya melalui partai yang cicoblos, tidak terwakili di DPR. Kemudian siapa yang mewakili mereka? Jawabannya, suara mereka “dibajak” oleh partai yang lolos PT.

Coba bayangkan seandainya peraturan PT ini dinaikkan. Berapa banyak lagi suara rakyat yang akan dinistakan? Belum lagi seandainya draft yang sekarang sedang dibahas betul-betul memberlakukan ketentuan PT secara flat nasional dan angkanya kembali dinaikkan. Akan semakin banyak lagi aspirasi masyarakat, baik nasional maupun daerah yang akan terbuang sia-sia.

Sebagai ilustrasi, di Provinsi Banten misalnya. Pada pemilu 2009, ada 85 kursi yang disediakan untuk wakil partai politik di DPRD berdasarkan populasi penduduknya. Setelah suara 9 partai yang lolos PT dihitung, baru menghasilkan 75 kursi. Itu artinya masih ada 10 kursi lagi yang belum terisi. Saat ini, 10 kursi tersebut diisi oleh partai-partai yang tak lolos ketentuan PT. Jika peraturan PT diterapkan secara flat nasional, berarti 10 kursi yang tersisa akan didistribusikan terhadap 9 partai yang lolos PT. Tentu hal ini akan mencederai asas keterwakilan dalam demokrasi. 10 kursi yang diisi oleh wakil-wakil dari partai yang lolos PT, merupakan wakil yang ditunjuk bukan atas dasar kehendak suara masyarakat, melainkan atas dasar “manipulasi” Undang-undang. Sementara suara yang telah memilih partai yang tidak lolos ketentuan PT, akan terbuang sia-sia. Jika secara nasional telah ada 19 juta suara yang sia-sia, berapa lagi suara yang akan dinistakan seandainya ketentuan PT diberlakukan flat secara nasional?

Berjenjang

Melihat ilustrasi yang ada di atas, tentu ketentuan pemberlakuan PT sebetulnya perlu dikaji ulang. Harus dicari formula baru dalam sistem pemilu kita yang dapat memecahkan dua masalah utama, menyederhanakan jumlah partai politik agar model presidensial bisa berjalan efektif di satu sisi, dan di sisi lain suara masyarakat juga jangan terlalu dinistakan secara berlebihan. Memang tidak mudah, namun kita bisa belajar dari pengalaman demokrasi di negara-negara lain.

Namun seandainya memang betul-betul ketentuan PT tetap akan diberlakukan karena menjadi “kesepakatan politisi senayan”, pembelajaran banyaknya suara yang terbuang dalam pelaksanaan PT untuk pengisian kursi DPR-RI pada pemilu 2009 harus dipertimbangkan. Jangan malah peluang pemberlakuan PT ini digunakan untuk memperkokoh kekuasaan partai politik besar hingga ke tingkat daerah dengan cara pemberlakuan PT flat secara nasional. Karena jika demikian, pemilu nantinya hanya akan menjadi legitimasi kekuasaan partai politik besar. Substansi pemilu sebagai variabel penting untuk mengukur kualitas demokrasi menjadi dipertanyakan. Karena wakil-wakil di DPRD tidak lagi ditentukan berdasarkan suara masyarakat di daerah bersangkutan, melainkan berdasarkan perolehan suara partai politik secara nasional.

Padahal kita semua faham, aspirasi masyarakat di daerah tidak selalu sejalan dengan aspirasi partai politik besar. Bagi daerah yang secara afiliasi politik tidak berpihak pada parpol besar, tentu mereka akan selalu dirugikan karena mereka tidak akan pernah punya wakil di DPRD. Mereka juga harus menurut pada “paksaan” kemauan partai politik besar. Unsur keragaman yang menjadi motto dalam Bhineka tunggal Ika menjadi tercederai.

Merujuk hal tersebut, sebaiknya politisi senayan berpikir ulang. Seandainya Pemberlakuan PT juga dilakukan hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Rujukannya bukan perolehan suara partai politik secara nasional, melainkan berdasarkan perolehan suara partai-partai yang ada di provinsi dan kabupaten/kota. Namun PT berjenjang ini juga bukan tanpa masalah. Karena dengan pemberlakuan PT, berapapun besarannya, mau tidak mau akan tetap ada suara masyarakat yang dinihilkan.

Saat ini, pemilu kita telah menjadi pemilu tersulit di antara negara demokrasi lainnya. Ada pencoblosan 4 tahap (DPR-RI, dua DPRD, dan Presiden). Kemudian daftar calon yang ada sangat banyak sehingga surat suara menjadi sangat lebar. Tak heran jika suara yang tidak sah pada pemilu 2009 lalu mencapai angka 17 juta suara. Belum lagi kerumitan dalam menkonversi suara menjadi kursi. Ditambah lagi, pemilu kita termasuk kategori pemilu termahal di dunia.

Dengan berbagai kelemahan yang ada, seyogyanya politisi di senayan bersama pemerintah merumuskan ulang sistem pemilu kita. Karena kita tahu, sistem pemilu kita tidak pernah mapan. Setiap lima tahun selalu mengalami revisi. Bukankan itu merugikan kita sendiri? Baik waktu, tenaga dan pikiran. Yang tentu lagi tidak ketinggalan adalah kerugian biaya pembahasan RUU yang tiap tahun yang jumlahnya tidak sedikit.

Abdul Hakim MS
Peneliti Indo Barometer

0 komentar:

Post a Comment