Para pengusaha mengadu kepada Presiden SBY mengenai buruknya infrastruktur di Indonesia (Rapat Kerja Pemerintah, 18-19 April 2011). Bukan hanya pengusaha, rakyat pun sudah lama dibuat menderita akibat keanekaragaman buruknya infrastruktur yang tersebar di seantero negeri ini. Mulai dari jalan berlubang, seringnya banjir ataupun rutinitas pemadaman listrik. Tantangan ke depan dalam permasalahan infrastruktur di Indonesia bukan hanya bagaimana menciptakan infrastruktur yang biasa-biasa saja. Ketidakramahan iklim dalam beberapa tahun belakangan ini menimbulkan keyakinan rencana jangka pendek dan panjang infrastruktur di Indonesia harus mengakomodasi aspek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Dampak Perubahan Iklim
Kondisi infrastruktur kita hari ini membuat kita semakin miris dalam memikirkan seburuk apa kerugian yang akan ditanggung apabila tiba saatnya dampak perubahan iklim memukul kita dengan keras. Berbagai pengamat dan organisasi internasional mengatakan negara berkembang akan mengalami dampak perubahan iklim terparah secara ekonomi dibandingkan dengan negara maju (Bank Dunia, 2010). Kemiskinan dan minimnya pendidikan menjadi dua alasan utama yang menghantui negara berkembang dalam penanganan perubahan iklim.
Indonesia-pun termasuk negara yang rentan terguncang dampak perubahan iklim. Menangani masalah ulat bulu saja pemerintah seperti kebakaran jenggot; bagaimana jadinya apabila level dampak buruk perubahan iklim dinaikan beberapa tingkat. Ambil contoh masalah semakin tingginya air laut. Air laut yang semakin tinggi akan mengancam ribuan pulau kecil dan besar di Indonesia. Pulau kecil dapat tenggelam alias hilang ditelan lautan. Dampak yang terjadi di pulau besar dapat mengusir penduduk pesisir pantai dan memaksa mereka menjadi “pengungsi iklim.” Belum lagi air laut tersebut akan menjelma menjadi banjir di daratan yang mengakibatkan munculnya wabah penyakit dan masalah lainnya. Singkat kata, masalah di masa akan datang akan jauh lebih rumit dari sekadar serangan ulat bulu.
Mekanisme Mitigasi dan Adaptasi
Rezim hukum perubahan iklim internasional telah menghasilkan berbagai macam mekanisme mitigasi. Namun hanya tercatat dua mekanisme yang paling relevan dengan Indonesia. Pertama, Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Saat ini MPB belum didukung dengan serius oleh pemerintah. Proyek MPB di Indonesia pada saat tulisan ini dibuat hanya ada 64 proyek. Kalah dari Malaysia dengan 90 proyeknya. Kalah sangat jauh dari China (1.344 proyek) dan India (641 proyek). Proyek MPB sangat bervariasi. Ada yang terkait secara langsung dengan pembiayaan pembangunan infrastruktur dan ada juga yang tidak terkait secara langsung. Ketidakpastian hukum dan kurangnya pemahaman tentang MPB di Indonesia menjadi beberapa alasan mandegnya proyek MPB di Indonesia.
Kedua, REDD-plus. Mekanisme REDD-plus tidak terkait langsung dengan pembangunan infrastruktur. Bahkan REDD-plus dianggap oleh beberapa kalangan menghambat pembangunan infrastruktur. Namun, perlulah kita ingat karakteristik REDD-plus yang menjaga hutan dengan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan akan jadi penopang terjaganya suatu infrastruktur. Misalnya adanya hutan akan mencegah erosi ataupun banjir yang dapat merusak jalan raya di daerah sekitar hutan.
Pembangunan, terutama pembangunan berkelanjutan cukup sering dimasukan pada keputusan Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties / COP). Namun, tidak banyak pembicaraan yang secara khusus membahas mekanisme adaptasi terkait infrastruktur. Kata “infrastruktur” tidak muncul sama sekali di Konvensi Perubahan Iklim 1992. Kata “infrastruktur” juga tidak banyak muncul dalam COP. Jikapun muncul, pemunculannya bukan dalam konteks pembahasan suatu penciptaan mekanisme baru melainkan hanya terangkai dalam kalimat normatif bersifat aspiratif. Dengan kata lain belum ada suatu mekanisme “pasar” yang memang dikhususkan pada pembangunan sektor infrastuktur di negara berkembang dengan konsep mirip dengan MPB namun fokusnya ke adaptasi bukan mitigasi.
Mekanisme Pendanaan
Pemerintah juga baiknya tidak mengambil jalan pintas dengan mengambil kebijakan utang. Negara maju telah memberikan komitmen untuk menyediakan dan memobilisasi bantuan finansial sebesar 30 miliar dollar AS untuk periode 2010-2012 dan sebesar 100 miliar dollar AS per tahun mulai tahun 2020. Indonesia harus dapat ambil bagian untuk mendapatkan potongan kue dari dana tersebut dengan tujuan pembangunan infrastruktur. Tentunya “kue” yang diincar diusahakan sekeras mungkin didapat dalam bentuk hibah dan bukan berbentuk utang.
Saat ini isu perubahan iklim di Indonesia selalu membahas mitigasi melalui sektor kehutanan. Pemerintah dimana-mana, baik dalam negeri maupun forum internasional selalu berbicara masalah REDD-plus. Ini tidak salah, tapi pemerintah juga harus memikirkan mitigasi dan adaptasi lainnya yang tidak kalah penting seperti melalui pembangunan infrastruktur tahan banting. Momentum kadaluarsanya mekanisme Protokol Kyoto di tahun 2012 dapat menimbulkan peluang baru untuk penciptaan mekanisme adaptasi khusus menangani pembangunan infrastruktur pada arena perubahan iklim global.
HANDA S. ABIDIN, S.H., LL.M.
Pengamat hukum perubahan iklim
Kandidat Ph.D. di bidang hukum perubahan iklim internasional dari University of Edinburgh School of Law
0 komentar:
Post a Comment