POTRET wakil rakyat yang duduk di Senayan terlihat buram. Tidak hanya karena kinerjanya yang memang tidak kinclong, tapi juga sikap dan perilaku mereka yang kadang membuat pudar aura positifnya.
Pendapat itu bukan dimaksudkan untuk menggeneralisasi bahwa semua wakil rakyat itu tidak terhormat. Semua wakil rakyat itu punya sikap yang tidak baik, semua wakil rakyat itu berperilaku tidak beretika. Pasti ada wakil rakyat yang berkinerja kinclong, pasti ada yang masih beretika, dan pasti masih banyak pula yang memiliki hati nurani.
Namun lagi-lagi, rakyat "Jelata" -- dalam bahasa salah satu elit Senayan -- hanya bisa menangkap gambar yang sederhana dan enggan berpikir rumit. Maka ketika ada berita di televisi, radio, koran, atau internet, ya itulah yang mereka simpulkan.
Ketika ada pemberitaan bahwa DPR nekat membangun gedung baru yang megah, maka otomatis rakyat akan mudah menyimpulkan, "wah keren wakilnya di DPR akan punya gedung megah, sambil meratapi kapan hidup mereka menjadi sejahtera dan terbebas dari kemiskinan."
Lantas ketika ada anggota DPR yang main Ipad atau Samsung Galaxy Tab, saat paripurna, rakyat "jelata" pun akan mudah menyimpulkan, "wah keren wakilnya di DPR memiliki alat komunikasi supercanggih hingga gambar yang tidak semestinya saja bisa dibuka dalam sekejap, sambil meratapi kapan listrik tidak byar pet lagi."
Itulah kira-kira kenapa kemudian rakyat "jelata" ini memandang wakilnya di DPR sana begitu "wah." Saking wah-nya, mereka pun tidak bisa menangkap apa yang sedang dipikirkan dan dilakukan oleh para wakilnya. Padahal rakyatlah sebenarnya yang memiliki otoritas untuk memberikan sanksi moral kepada wakilnya jika mereka berbuat salah dan tidak memiliki lagi etika.
Kalau mengacu ke literatur, etika adalah pandangan mengenai benar dan salah. Padanan
kata etika adalah budi pekerti, moral, akhlak (Kuntowijoyo, 2002: 8). Frans Magnis Suseno memberi batasan mengenai etika lebih rinci: Etika adalah filsafat mengenai bidang moral, merupakan ilmu atau refleksi sistematika mengenai pendapat-pendapat, norma dan istilah-istilah moral. Etika merupakan keseluruhan norma yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia dan seharusnya menjalankan kehidupannya (Suseno, 2001: 3).
Melihat definisi itu, sudah sepantasnya jika wakil rakyat pun harus memiliki etika. Baik itu etika saat bersidang, etika dalam menyampaikan pendapat, etika saat paripurna, dan tidak kalah pentingnya adalah etika untuk tunduk dan patuh pada suara pemilihnya.
Pembangunan gedung supermegah, main Ipad atau Samsung Galaxy Tab paripurna, dan ketiduran saat sidang, jelas tidak pas untuk dipertontonkan dihadapan rakyat pemilihnya. Mereka harus menjaga etika dan etiketnya sebagai wakil rakyat yang terhormat.
Namun, kalau etika dan etiket tidak bisa dipegang, maka rasa hormat itu bisa sirna. Dan siapa tahu suara saat Pemilu 2014 pun tidak akan diberikan lagi kepada mereka. Untung kalau masih mau menggunakan hak pilihnya, kalau rakyat memilih untuk Golput. Wah-wah itu makin bikin repot lagi. Karena salah satu ukuran keberhasilan pembangunan demokrasi, adalah tingkat partisipasi publik dalam Pemilu.
Karena itu, sudah selayaknya jika wakil rakyat yang terhormat bisa menjaga kehormatannya dengan selalu santun dan beretika dalam berperilaku. Jangan sampai sindiran mantan Presiden Gus Dur bahwa DPR seperti Taman Kanak-Kanal benar adanya. Wakil rakyat harus lebih dewasa, lebih beretika, dan lebih kinclong kinerjanya.
0 komentar:
Post a Comment