SETELAH gelegar Piala AFF 2010, publik Indonesia menjadi sangat peduli dengan kondisi yang terjadi pada persepakbolaan negeri. Sebelumnya, belum pernah ditemukan kondisi senasionalis ini. Situasi ini disadari masyarakat sebagai tindakan dalam menghilangkan tirani dalam Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Bahkan, masyarakat awam pun sudah sepolitis ini pemikirannya. Bukan suatu yang baru, olah raga dengan massa terbanyak akan sarat dengan nuansa politik yang berbelit-belit.
Sepak bola Indonesia yang sering dianggap rusuh, kotor, dan kalah seolah-olah berubah menjadi sesuatu yang berkelas. Sepak bola yang diidam-idamkan seluruh masyarakat Indonesia lahir saat diketuai oleh Nurdin Halid. Dengan kata lain, massa yang begitu banyaknya telah mengetahui perpolitikan buruk dalam PSSI. Sebagai tindakan konkritnya adalah dengan melakukan pengumpulan massa untuk menonton secara langsung sewaktu Piala AFF 2010, menjadi bukti bahwa masyarakat sangat menginginkan Nurdin Halid untuk turun.
Carut marut antara bisnis dan politik menjadi bumbu kental yang menjadi aroma pekat dalam PSSI. Munculnya Liga Primer Indonesia (LPI) sangat jelas mengindikasikan adanya pihak yang secara tegas menentang PSSI. Kubu PSSI yang dimiliki oleh PT Liga Indonesia mempunyai kekuasaan 95 persen, sedangkan lima persen sisanya dikuasai oleh oknum tertentu yang berada dalam PSSI.
Sebagai tandingan PT Liga Indonesia, PT Liga Primer Indonesia lahir karena PSSI dinilai telah cacat menjalankan fungsinya. PT Liga Primer yang dipimpin Arfin Panigoro pada dasarnya sama dengan PT Liga Indonesia, yaitu sebagai penyelenggara turnamen sepak bola bergengsi di Indonesia. Dan semua akan berorientasi pada uang. Tanpa adanya orientasi tersebut, liga tersebut tidak akan berjalan.
Liga Super Indonesia (LSI) dan LPI tentu saja dimanfaatkan untuk kepentingan politis. Sebagai muara juang pemimpin mereka adalah ajang pemilu kepala daerah, atau pemilu 2014. Terlihat jelas sekali, mereka menggaet massa sebagai alat penggulingan kekuasaan dengan menggunakan sepak bola sebagai pancingan.
Sudah terbukti, siapa yang berhasil memimpin klub kebanggaan kotannya akan dengan mudah mendapatkan popularitas dalam pemilihan bupati, walikota, bahkan anggota dewan. Hal ini diungkapkan oleh Muhammad Farhan yang menjabat sebagai Wakil Direktur PT Persib Bandung.
Selain penggulingan kekuasaan tersebut, para pejabat juga mengintervensi pemain sepak bola secara langsung. Kemenangan yang diraih tim akan mengundang para pejabat untuk mengucapkan selamat serta memberikan hadiah. Kondisi ini akan membuat para pemain menjadi money oriented, kebiasaan yang membentuk mental pemain menjadi mata duitan, sehingga nilai-nilai profesionalisme dan sportivitas semakin menipis. Tidak hanya itu, penyogokan wasit, pengaturan skor, sogok penonton, dan jual beli juara disebabkan oleh intervensi pihak yang meracuni kemurnian nilai sportivitas dalam sepak bola.
Untuk regenerasi PSSI, asalkan negara siap untuk melindungi kemurnian sepak bola dengan cara mengembalikan citra buruk sepak bola Indonesia, itu saja sudah cukup. Membenahi agar sepak bola Indonesia tidak kotor, rusuh dan selalu kalah harus dihilangkan dari stigma masyarakat. Kita harus bangga dengan sepak bola kita, karena dengan sepak bola kita menjadi sama. Tidak adanya diskriminasi di dalamnya.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Bambang Pamungkas, sepak bola akan lebih indah jika berbentuk sebagai olah raga lapangan. Bila ada campur tangan yang memanfaatkan sampai pada pemainnya, ini berarti kemurnian sportivitas terganggu. Sehingga aturan2 x 45 menit hanya berlaku sebagai olah raga di lapangan, dan sisanya hanya kekentalan politik dan bisnis yang sangat merusak.
Hardiat Dani SatriaMahasiswa Departemen Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Indonesia (UI)
0 komentar:
Post a Comment