Entah siapa yang memulai, kajian-kajian mengenai iklim yang pada dekade-dekade sebelumnya yang benar-benar sepi dari pembahasan di tahun-tahun ke belakang menjadi topik yang sangat seksi untuk dibicarakan. Hampir semua kalangan membicarakannya. Mulai dari akademisi hingga pedagang koran.
Topik ini juga menjadi sangat hangat dibicarakan dengan antusias oleh para pejabat dari tingkat kepala desa hingga tingkat kepala-kepala negara di dunia. Ada cerita unik dari seorang dosen Meteorologi Fisik Institut Pertanian Bogor saat beliau menghadiri kampanye pemilihan camat di Jawa Timur. Saat itu 3 dari 5 calon membawa isu global warming. Analisis yang mereka lakukan, karena berbekal pengetahuan seadanya dan untuk tujuan politik, akhirnya berupa analisis-analisis yang agak melenceng. Salah satu mengatakan BBM jangan dipakai lagi karena akan meningkatkan risiko angin puting-beliung. Calon kedua mengatakan agar rumah-rumah sebaiknya jangan menggunakan jendela dari kaca karena akan menyebabkan efek rumah kaca dan global warming. Sementara itu calon terakhir mengatakan agar petani mengganti tanamannya dengan tanaman jarak untuk jadi energi alternatif.
Isu perubahan iklim di Indonesia menjadi sangat ngetrend dengan marak diadakannya konferensi mengenai iklim dan global warming. Konferensi terbaru yang diadakan di Indonesia adalah konferensi pemuda untuk perubahan iklim akhir bulan Februari lalu. Yang patut disayangkan, konferensi-konferensi tersebut masih melihat bahwa perubahan iklim hanya disebabkan oleh hal-hal terkait emisi karbon dan gas rumah kaca. Setiap konferensi memang selalu mengarahkan tanggung jawab atas emisi ini kepada negara-negara maju, sebagai contoh Amerika Serikat. Namun, konferensi-konferensi ini jarang memiliki kekuatan untuk memaksa Amerika Serikat dan negara maju untuk mengurangi gas karbon yang umumnya berasal dari industri dan kendaraan bermotor mereka yang jelas jauh lebih besar dari emisi yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang. Alih-alih memaksa mereka, justru negara maju yang memaksa negara dunia ketiga untuk mengurangi emisi dan memelihara hutan dengan kompensasi yang mereka tentukan kemudian.
Yang sungguh mengherankan, para ilmuwan ikut mengamini tindakan barat memaksa negara dunia ketiga itu. Padahal jelas bahwa hal ini sarat dengan kepentingan politik. Ketika negara-negara berkembang dilarang menambah emisi serta memelihara lahan mereka yang tertutup hutan, maka disadari ataupun tidak mereka telah mengubah isu perubahan iklim menjadi isu energi dan sumber daya lahan. Barat telah menghambat atau mencegah perkembangan industri negara-negara berkembang dengan dalih pencegahan perubahan iklim ini. Penghambatan inilah yang akan membuat negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, menderita ketergantungan akan barang-barang impor hasil produksi negara-negara maju. Jelaslah secara ekonomi dan politik, isu ini merugikan. Di Indonesia sendiri, carbon trade yang mengkompensasi wilayah hutan Indonesia menyebabkan beberapa wilayah yang tercatat sebagai hutan (meski telah gundul) harus dipertahankan sebagai hutan serta tidak boleh dimanfaatkan untuk hal lain termasuk pertanian. Hal ini disampaikan oleh mantan menteri pertanian RI 2004-2009, Anton Apriyantono dalam sebuah kajian pertanian yang digelar di Fakultas Pertanian Bogor awal bulan yang lalu.
Secara ilmiah, global warming sebenarnya bukan sekadar hasil dari ulah manusia. Penelitian membuktikan bahwa suhu muka bumi naik sebesar 0,76 derajat Celcius selama seratus tahun terakhir menunjukkan bahwa pemanasan global adalah hal yang wajar dan secara alamiah merupakan siklus. Karena jika kita menyandarkan perubahan iklim global hanya pada emisi karbon dan teori gas rumah kaca, seharusnya terjadi kenaikan yang lebih signifikan dari sekadar 0,76 derajat celcius setelah revolusi industri. Pada 125 ribu tahun yang lalu, bumi kita 3 sampai 5 derajat lebih tinggi temperaturnya dari hari ini. Global warming dan global cooling adalah sebuah siklus alami yang tidak dengan tiba-tiba terjadi. Memang emisi gas rumah kaca turut berperan, namun sekali lagi hal ini bukanlah faktor tunggal dalam terjadinya perubahan iklim.
Harapannya dalam momentum hari meteorologi sedunia ini, kita semakin peduli dengan sisi-sisi ilmiah dari perubahan iklim. Ketika selama ini kita sebagai negara dunia ketiga diperalat oleh negara maju untuk melanggengkan kepentingan mereka, dengan memahami dan peduli dengan sisi ilmiah perubahan iklim ini kita akan lebih bijak dalam mengartikan setiap kebijakan barat. Sehingga untuk masa selanjutnya kita tidak dengan mudah dibodohi dengan iming-iming kompensasi padahal kebijakan energi serta lahan kita disetir oleh negara maju.
Selamat hari Meteorologi Se-dunia...
Muh. Dimas Arifin
Mahasiswa Meteorologi terapan IPB
Ketua Komisi bidang Sosial Politik dan advokasi DPM FMIPA IPB
0 komentar:
Post a Comment