Monday, April 4, 2011

Singkawang, Kota Seribu Kelenteng di Kalimantan Barat

BAGAI Taiwan berwujud kota, Singkawang begitu kental dengan budayanya, namun tak sesak oleh wisatawan dan suasana metropolitan. Asap dari tong berisi sup mie Tionghoa bercampur kepulan jelaga dari sotong pangkung membumbung dan menebarkan bayangan sebuah pasar malam terbaik di Asia.

Sebuah distrik kuliner menampilkan barisan gerobak kaki lima beraneka warna tersusun rapi di Jalan Setiabudhi yang beraspal hitam dan bersih. Kerapian kota di Kalimantan Barat ini tak terusik, karena hampir tak pernah digerus gerigi peradaban kota besar yang penuh kemelut dan polusi.

Singkawang begitu damai di siang hari, saat panas di jalur nol derajat di Khatulistiwa menghujani kota kecil ini. Sebaliknya di malam hari, warga kota memilih berada di luar rumah demi sejenak kenikmatan angin malam dan kehangatan suasana temaram berbias sinar lampu.

Kota ini lekat dengan kebudayaan China yang sejarahnya jauh menghujam di bumi Kalimantan Barat. Saat pencarian biji emas di sungai yang membelah Kota Monterado di abad ke-19, para pekerja pertambangan menjadikan Kota Singkawang sebagai kota persinggahan. Budaya yang dibawa oleh para pekerja pertambangan dari China ini mewarnai hari-hari bahkan keseharian di kota kecil ini hingga menjadi satu ciri khas yang mengakar.

Kelenteng dan sang Budha mewarnai kota ini selain keyakinan warga terhadap ajaran Kong Hu Cu yang disebar Konfusius. Tak heran, kota ini dikenal sebagai “Kota Seribu Kelenteng” yang merah melentik di depan langit biru, tersebar di seluruh kota dan di luarnya. Namun kemeriahan datang tepat pada waktunya. Seluruh warga Tionghoa beragama Budha ataupun Kong Hu Cu menjadi satu dalam sebuah perayaan besar.

Kota Singkawang tak lagi sunyi, jauh dari lengang. Di hari ke-15 setelah Imlek, seluruh negeri merayakan Cap Go Meh, dan Singkawang bagaikan Hong Kong untuk para wisatawan budaya.

Hari di mana Cap Go Meh adalah satu-satunya hal yang terpenting di Singkawang maka saat itulah seluruh kota bersolek dan merias diri. Patung Naga Liong yang meliuk di tiang lampu tengah kota semakin memancarkan keemasannya. Kelenteng di tengah kota yang dikenal unik, semakin sering berpose di depan kamera para pemburu gambar. Senyuman semakin dipermanis, kehangatan semakin dihembuskan dari panjangnya kesunyian kota.

Dari semua kota yang meramaikan Imlek dan Cap Go Meh di Indonesia, Singkawang adalah benchmark dari semua kemeriahan. Sejak 1834 saat George Windsor Earl menulis kata “Sinkawan” dalam bukunya “The Eastern Seas”, nama Singkawang semakin berbinar.

Kata Singkawang sendiri berasal dari nama tanaman di hutan tropis sekitar, yaitu “tengkawang”. Pedagang dan pelaut China menyebutnya San Keuw Jong (Shankou Yang), atau Sungai Mulut Gunung.

Memang faktanya ialah bahwa sungai Singkawang yang berdelta menjadi waterfront di sore hari membelah kota ini terus ke pedalaman yang bergunung. Singkawang adalah destinasi ideal bagi yang mengharapkan teduhnya kedamaian di bawah atap-atap rumah pecinan dan bersihnya kepolosan gambar warga untuk diabadikan dan dibagikan pada masyarakat dunia.

0 komentar:

Post a Comment