Gempa berkekuatan 9.0 Skala Richter mengguncang timur laut pulau Honshu pada 11 Maret 2011. Gempa dahsyat yang diiringi dengan tsunami dan terganggunya reaktor nuklir Fukushima ini menelan puluhan ribu nyawa manusia, memaksa ratusan ribu orang lainnya untuk hidup di pengungsian, dan merusak sendi-sendi perekonomian Jepang. Bencana ini sedemikian besarnya sampai-sampai Jepang yang notabene adalah negara yang dan unggul dalam mitigasi bencana masih belum bisa dianggap berhasil dalam menanggulangi dampak-dampaknya. Bagaimana dengan kesiapan bangsa kita tercinta Indonesia menghadapi bencana berskala besar seperti ini?. Kita semua tahu bahwa bencana-bencana sebelumnya seperti di Aceh (2004), Yogyakarta (2006), dan Sumatera Barat (2009) telah memakan sangat banyak korban dan memperburuk kondisi kehidupan sehari-hari. Sebagian dari dampak bencana-bencana ini seharusnya bisa dihindari. Berikut ini adalah beberapa pelajaran berdasarkan pengamatan penulis mengikuti langsung kondisi di Jepang dalam menghadapi bencana. Pelajaran-pelajaran ini selayaknya bisa kita ambil untuk memperbaiki diri kita dalam mengurangi dampak bencana besar yang bisa terjadi sewaktu-waktu di negara kita.
Bagi para pejabat pemerintah
Satu upaya Perdana Menteri Kan yang dianggap tepat adalah upayanya menginstruksikan menteri pertahanan Jepang Toshimi Kitazawa untuk segera mengerahkan puluhan ribu tentara beserta ratusan kendaraan militer ke lokasi bencana. Tenaga para tentara ini sangat dibutuhkan dalam mencari korban yang meninggal atau masih selamat di bawah reruntuhan, upaya evakuasi termasuk pengadaan logistik, membantu memperbaiki infrastruktur jalan, dan lain sebagainya. Sekitar dua minggu setelah bencana, pemerintah Jepang juga bergerak untuk membangun perumahan-perumahan diperuntukkan bagi korban selamat yang tempat tinggalnya tersapu tsunami ataupun yang sudah tidak layak huni lagi karena gempa. Rencananya perumahan-perumahan ini selesai dalam waktu enam bulan. Sayangnya jumlah yang mampu disediakan pemerintah Jepang masih jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan. Melihat kecenderungan yang selama ini terjadi di Indonesia, ada baiknya pemerintah mempunyai rencana dan budget yang jelas tentang hal ini. Jepang saja yang secara ekonomi dan teknologi lebih baik dari Indonesia masih belum bisa memenuhi kebutuhan darurat rakyatnya. Hal lain yang patut mendapatkan apresiasi adalah inisiatif pemerintah lokal seperti Tokyo, Saitama, bahkan Osaka dalam menawarkan fasilitas evakuasi sementara bagi pengungsi dari daerah bencana seperti Sendai, Iwate, dan Fukushima. Tawaran-tawaran seperti ini sangat berguna mengurangi beban permasalahan pengungsian.
Kepemimpinan Naoto Kan sebagai Perdana Menteri Jepang dalam menanggulangi dampak bencana kali ini bukan tanpa cela. Perdana Menteri Kan sempat menjadi perhatian publik karena dianggap tidak mampu memberikan arahan yang jelas bagi para bawahannya. Ini terbukti dengan keluhan pejabat lokal di Fukushima yang menyatakan tidak mendapatkan informasi dan instruksi yang cepat dan akurat tentang upaya evakuasi rakyat di Fukushima. Di lain pihak, Perdana Menteri Kan juga mengeluh bahwa Tokyo Electric Power, Co. yang merupakan operator reaktor nuklir di Fukushima terlambat melaporkan situasi krisis di Fukushima kepada pemerintah. Dalam kondisi darurat, instruksi dan pelaporan yang akurat dan cepat sangat dibutuhkan. Kegagalan dalam hal ini akan merugikan banyak pihak. Satu hal lain yang harus diperhatikan oleh pejabat pemerintah adalah agar berhati-hati dalam memberikan komentar. Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara telah melakukan blunder dengan dengan mengatakan bahwa bencana ini adalah akibat dari keegoisan. Komentar seperti ini seharusnya tidak perlu dilontarkan karena dapat menyakiti perasaan sebagian korban.
Bagi para dokter, perawat, pemadam kebakaran, polisi, tentara, dan guru
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tenaga-tenaga yang paling dibutuhkan sesaat setelah bencana dahsyat adalah tenaga para dokter dan perawat untuk membantu korban yang cedera atau jatuh sakit. Jangan sampai dokter dan perawat, dengan alasan apapun, justru tidak berada di rumah sakit atau puskesmas setelah terjadi gempa. Pemadam kebakaran sangat dibutuhkan untuk menanggulangi kebakaran yang sangat mudah terjadi sesaat setelah gempa, Tenaga polisi dan tentara sudah pasti sangat dibutuhkan dalam memberikan pengamanan dan pertolongan fisik. Dalam menghadapi gempa Tohoku ini dokter, perawat, pemadam kebakaran, polisi dan tentara jepang menunjukkan kontribusinya dengan jelas. Tidak ada salahnya kita berharap pahlawan-pahlawan yang sama dari Indonesia juga siap sedia memberikan jasa dan dedikasinya jika sewaktu-waktu bencana melanda negeri kita tercinta.
Diperkirakan jumlah korban bencana Tohoku ini telah dapat diminimalisasi berkat upaya pendidikan di sekolah. Pendidikan di Jepang selama ini dianggap telah membentuk pola pikir murid bagaimana bereaksi terhadap bencana gempa, yang akan terbawa sampai mereka dewasa. Guru-guru di Indonesia diharapkan juga membekali diri dengan pengetahuan tentang bencana gempa dan cara cara menghadapinya dan kemudian mengajarkannya kepada murid secara terus menerus, Peran yang juga diharapkan dari guru dalam kondisi pasca bencana adalah memotivasi para murid untuk terus semangat belajar walaupun dalam kondisi serba kekurangan seperti gedung sekolah yang rusak, kekurangan buku dan alat tulis, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya.
Bagi para pengusaha dan pekerja
Perusahaan-perusahaan Jepang pada umumnya sudah mempunyai prosedur baku tentang bagaimana?menghadapi kondisi setelah gempa. Setelah terjadinya gempa, para karyawan dibekali dengan informasi kondisi terkini secara kontinu. Kebutuhan logistik, akomodasi, dan transportasi para karyawan pun diperhatikan. Hal ini akan membuat para pekerja merasa tenang dan diperhatikan. Di lain pihak, para pekerja berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan, walaupun sedang berada di masa sulit. Hubungan timbal balik yang sinergis ini sangat berguna dalam menjaga produktifitas yang merupakan kebutuhan mutlak dalam upaya bangkit dari bencana.
Khusus untuk pengusaha dan pekerja media massa, satu hal yang patut dicontoh dari Jepang adalah kemampuan media massa nya untuk tidak melebih-lebihkan isi berita. Media masa di Jepang tidak mengekspos kesedihan secara berlebihan dan tidak ada berita-berita yang memancing kepanikan yang tidak perlu. Informasi yang disampaikan melalui media dijaga keakuratannya dan ditunjang oleh komentar dari para pakar yang memang ahli dan berpengalaman di bidangnya. Hal ini membuat masyarakat bisa bersikap lebih tenang dan realistis.
Bagi para panutan publik
Semenjak terjadinya bencana, media media Jepang tidak henti-hentinya memberitakan simpati dan dukungan dari para panutan publik seperti entertainer dan atlet-atlet. Para entertainer berinisiatif menggalang dana dan terjun langsung ke tempat pengungsian menyerahkan bantuan sambil memberikan hiburan-hiburan. Dua minggu setelah bencana, tim nasional sepakbola Jepang mengadakan pertandingan amal yang selain berhasil mengumpulkan sejumlah donasi juga berhasil memberikan hiburan tersendiri bagi rakyat yang sedang diliputi rasa duka. Atlet-atlet baseball professional terkenal Jepang seperti Ichiro Suzuki dan Hideki Matsui diberitakan menyumbang puluhan juta Yen untuk pemulihan bencana. Seorang pegolf profesional Ryo Ishikawa malah berkomitmen mendonasikan seluruh pendapatannya dari turnamen-turnamen selama tahun 2011 dan tambahan tambahan lainnya yang apabila dijumlahkan diperkirakan bernilai hingga 200 juta Yen. Kepedulian mereka membuat hubungan antara penggemar, idola, dan negara terasa sangat bermakna. Di Indonesia, kita punya idola-idola seperti Sherina Munaf, Agnes Monica, Taufik Hidayat, dan Irfan Bachdim yang tentunya kita harapkan nantinya tidak akan tinggal diam ketika melihat bangsanya dilanda bencana.
Bagi para preman
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa kelompok gangster Jepang yang dikenal sebagai Yakuza telah bereaksi sangat cepat dengan mengirimkan bantuan logistik ke daerah-daerah yang terdampak bencana. Membantu korban bencana sudah menjadi semacam kewajiban bagi mereka. Mereka juga melakukannya di saat gempa Kobe (1995). Ya, preman juga manusia. Semoga hal ini bisa menginspirasi kelompok-kelompok yang merasa dirinya adalah preman di Indonesia.
Pada akhirnya, kita sebagai rakyat Indonesia, apapun pekerjaan kita, selayaknya bisa mengambil pelajaran dari bencana gempa Tohoku ini. Alangkah bangganya kita sebagai sebuah bangsa nantinya bila seandainya memang terjadi bencana dahsyat di Indonesia namun kita berhasil meminimalkan jumlah korban, bertindak cepat dan akurat, serta saling membantu untuk bangkit. Dunia dan generasi yang akan datang pun akan terpukau dengan Indonesia.
Odi Akhyarsi, WNI yang tinggal di Jepang dalam 7 tahun terakhir
0 komentar:
Post a Comment