Friday, April 15, 2011
Pantai Anyer, Dulu dan Sekarang...
Anyer. Satu kata yang bisa membawa kisah hingga ke masa lampau. Saat Gubernur Jenderal Daendels membangun proyek ambisiusnya, jalan pos Anyer-Panarukan. Jaraknya yang hanya tiga jam perjalanan dari Jakarta, masih menjadikan Anyer pelarian penduduk Jakarta untuk pelesir di tengah panorama laut lepas.
Suara-suara sumbang mengenai pariwisata di Anyer memang kerap terdengar. Kritikan kepada pemerintah daerah yang tidak memperhatikan kondisi jalan adalah yang utama. Beberapa ruas jalan di Anyer maupun menuju Anyer berada dalam keadaan rusak berkepanjangan. Kadang ada perbaikan saat menyambut perayaan akhir tahun. Namun, selang beberapa bulan kemudian, jalanan rusak kembali.
Pendapat lain berkata pantai di Anyer tidak ada yang gratis. Artinya, setiap pengunjung yang ingin menikmati panorama di Anyer harus membayar tiket kunjungan. Benarkah demikian? Ternyata masih ada titik-titik di pantai Anyer yang bisa dikunjungi tanpa membayar.
Saya menemukan beberapa terusan pantai ini tanpa sengaja. Kala itu, saya hendak berkunjung ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berada di Kampung Paku, Anyer, Banten. Dari penginapan saya cukup naik angkutan kota (angkot) menuju Kampung Paku. Sampai di sebuah perempatan, sopir angkot pun memberi petunjuk.
"Kalau ke kanan itu ke pasar. Kalau ke TPI itu ke kiri, jalan saja lurus terus. Deket kok," ujar supir angkot.
Kata "dekat" pada akhirnya hanya buaian manis untuk memulai perjalanan. Ternyata kata "lumayan jauh" lebih tepat dipakai untuk mengambarkan perjalanan dari jalan besar yang dilalui angkot ke TPI. Perlu sekitar 20 menit untuk mencapai lokasi. Namun, semua itu terbayar. Saya harus melintasi beberapa rumah penduduk sebelum akhirnya berjumpa dengan pasir putih.
Kaki selanjutnya melangkah di bibir pantai. Beberapa rombongan anak-anak sudah tampak asyik berenang. Bermain di pagi hari memang menyenangkan. Penduduk setempat juga berolahraga ringan di sekitar pantai. Di kejauhan tampak Kapal Laut Teduh II yang terbakar pada bulan Januari yang lalu. Kapal kandas itu menguasai pemandangan pantai.
Di TPI, beberapa pedagang sudah bersiap-siap menantikan kedatangan nelayan yang membawa tangkapan ikan. Salah satu pedagang bernama Muhlis bercerita jika bulan terang ikan-ikan malah lari. "Saya dulu juga nelayan. Biasa melaut sampai ke arah Krakatau. Turun ke laut sudah dari sore, tapi malam baru mulai mancing. Dulu, seringnya di laut sampai tiga hari baru balik," ceritanya.
Pagi itu, tangkapan nelayan didominasi cumi-cumi. Satu plastik besar berisi cumi-cumi laku dibeli seharga Rp 225 ribu. Jika berminat membeli dalam jumlah sedikit, coba saja datang ke beberapa rumah di sekitar TPI. Mereka biasa menjual hasil laut yang baru dibeli di TPI. Tetapi, beberapa pedagang di TPI ada saja yang mau menjual dalam jumlah sedikit. Tentu sangat seru membakar sendiri hasil laut segar.
Label:
Travelling
0 komentar:
Post a Comment