Kena deh, begitulah ucapan yang paling pas dialamatkan kepada anggota DPR dari Fraksi PKS, Arifinto, ketika kepergok menonton video porno dari alat komunikasi yang dimilikinya saat Sidang Paripurna DPR. Entah sengaja atau tidak, dalam menonton video porno, apa yang dialami oleh Arifinto itu merupakan sebuah pukulan yang berat dan sangat memalukan, tidak hanya mengena kepada dirinya namun juga kepada partainya yang selama ini dikenal partai yang bersih.
Terjebak dalam pornografi, bagi politisi merupakan sebuah aib yang lebih memalukan daripada korupsi. Banyak orang yang terlibat dalam korupsi, namun setelah dirinya dikenai tindakan hukuman pidana atau perdata, ia masih bisa senyum sana, senyum sini, bahkan ketokohan yang dimilikinya tidak luntur. Ia pun masih bisa dan didukung masyarakat ketika hendak maju sebagai calon kepala daerah atau anggota parlemen.
Namun bila yang terjebak dalam masalah pornografi, itu merupakan hukuman yang susah untuk dipulihkan. Bila politisi atau pejabat tinggi terjebak dalam masalah pornografi, biasanya kalau tidak mengundurkan diri dari jabatannya, ia akan mengucilkan diri.
Apa yang terjadi pada Arifinto itu seolah-olah menambah jumlah anggota DPR yang terlibat dalam masalah pornografi dan pornoaksi. Sebelumnya, anggota DPR RI 2004-2009, Yahya Zaini dan Max Moein, juga mengalami nasib yang sama meski tindakannya berbeda. Yahya Zaini terkena kasus pornografi setelah video pornonya bersama Maria Eva tersebar, sementara Max Moein dipecat dari DPR dengan tuduhan melakukan pelecehan seksual terhadap mantan sekretaris pribadinya Desi Firdiyanti dan foto-fotonya yang bertelanjang dada dengan seorang gadis beredar di internet.
Apa yang menimpa ketiga politisi tersebut pastinya menambah hitam dari catatan kinerja DPR yang saat ini sudah demikian legamnya. Mengapa anggota-anggota DPR bisa melakukan tindakan yang tidak pantas tersebut? Alasannya adalah. Pertama, adanya pihak yang ‘membongkar’ kebiasaan jelek anggota DPR itu. Aksi fotografer sebuah media massa yang berhasil mengabadikan ulah Arifinto itu bisa jadi merupakan sebuah lemparan batu dari, mungkin saja, kebiasaan Arifinto yang sering membuka situs porno.
Membongkar aib anggota DPR yang terjebak dalam masalah pornografi dan pornoaksi, bisa saja disebabkan karena kebetulan atau karena motif balas dendam atau ekonomi. Terungkapnya apa yang dilakukan oleh Yahya Zaini dan Max Moein mungkin dilatari permasalahan balas dendam. Mungkin pihak yang merasa menjadi korban kedua orang itu ada sesuatu yang belum diterimanya sehingga mereka menuntut balas. Caranya? Ya membongkar aib itu.
Kedua, suasana sidang yang menjenuhkan atau sidang itu sudah dianggap tidak penting lagi. Arifinto sebenarnya orang yang masih sabar duduk di Sidang Paripurna. Ketika anggota DPR lainnya walk out atau keluar dengan alasan tidak jelas, dirinya masih bertahan di ruang rapat. Namun yang menjadi masalah, ia bertahan di tempat itu bukan menyimak apa yang dibicarakan oleh pimpinan sidang, dalam hal ini Ketua DPR, tetapi malah asyik dengan alat komunikasinya itu sendiri. Tidak menjadi masalah yang dibuka dari alat komunikasi yang dimiliki itu hal-hal yang terkait dengan perkembangan politik, sayangnya yang dibuka justru file-file yang tidak pantas.
Arifinto melakukan tindakan seperti itu bisa jadi ia jenuh dengan sidang paripurna, bisa juga keputusan sidang paripurna sudah selesai di tingkat komisi atau badan khusus sehingga sidang paripurna itu sudah dianggap tidak penting, dan kehadiran anggota DPR hanya sebatas tanda tangan kehadiran. Dari sinilah maka anggota DPR suka-suka ketika berada dalam ruang sidang. Bila bosan mereka bisa keluar seenaknya sendiri.
Untuk itu pimpinan sidang, dalam hal ini para pimpinan DPR, harus bisa menghidupkan suasana sidang, di mana interupsi-interupsi yang muncul harus ditanggapi dengan serius. Adanya pengabaian interupsi mengakibatkan para nggota DPR tidak semangat, yang ujungnya selain ada yang walk out, juga acuh dengan proses jalannya sidang. Keacuhannya itu disikapkan dengan berbuat seenaknya sendiri.
Ketiga, anggota DPR merasa dirinya merasa super sehingga mereka bisa melakukan apa saja dan di mana saja. Ini bisa terjadi karena merasa memiliki kekuatan ekonomi dan kekuatan politik. Mereka merasa bila dirinya terkena masalah, partainya akan membela, dan mereka mengatakan kalau terkena masalah sedikit-sedikit menyatakan bahwa ini adalah permaianan politik. Dan mereka merasa kesalahan itu bisa diputihkan dengan transaksi politik. Dari sikap seperti inilah maka anggota DPR tak pernah belajar dari masa lalunya, bahwa hal-hal sepele bisa membuat mereka celaka. Namun mereka masih saja petantang petenteng.
Bila ketiga hal di atas tidak dibenahi kejadian-kejadian anggota DPR yang terkena masalah pornografi dan pornoaksi bisa muncul kembali. Di depan public saja mereka berani membuka file porno apalagi nanti di saat kemewahan gedung baru terwujud. Dalam gedung yang luas, ruang yang nyaman, dan kedap dari pantauan masyarakat, anggota DPR mungkin bisa lebih dari membuka file porno.
Untuk itu, untuk mencegah hal-hal yang sifatnya negatif dari perilaku anggota DPR, maka fasilitas yang ada di gedung dewan harus terbuka, dan jauh dari bangunan-bangunan yang sifatnya melenakan. Fungsinya agar masyarakat bisa mengontrol secara langsung.
Dari semuanya bisa disimpulkan bahwa sebenarnya terjadinya skandal pornografi dan pornoaksi bisa dilakukan oleh siapa saja, mulai dari masyarakat biasa, pejabat pemerintah, kepala daerah, anggota DPRD, anggota DPR, tentara, polisi, menteri, bahkan presiden sekalipun. Mereka melakukan skandal seks tentu dilandasi oleh banyak hal, namun yang pasti mereka mengumbar hawa nafsunya. Permasalahan skandal seks akan timbul jika yang melakukan adalah para pejabat atau orang yang ditokohkan.
Oleh sebab itu apabila menjadi pejabat atau tokoh masyarakat sebaiknya harus menampilkan citra yang baik dan bisa menjadi tauladan bagi semua. Para pejabat harus bisa menahan diri dari keinginan melakukan free sex, apabila terjerumus dalam skandal seks secara otomatis akan mematikan kariernya dan mencoreng asal lembaganya.
Ardi Winangun
Pengurus Presidium Nasional Masika ICMI dan Pengamat Politik
0 komentar:
Post a Comment