Saturday, April 2, 2011

Jangan Mau Dijajah Dua Kali oleh Jepang

MERESPONS paparan Menteri Perindustrian RI, M.S. Hidayat, dalam Peluncuran Tahun Kimia Internasional di Jakarta, Rabu (23/3/2011), tentang relokasi industri Jepang ke Indonesia, sepertinya masih banyak yang harus dikaji ulang.

Meskipun relokasi yang dimaksudkan notabene adalah industri yang belum berkembang di Indonesia, namun tetap saja mengandung dampak negatif yang harus lebih dipertimbangkan.

Relokasi industri tersebut jelas-jelas bertujuan untuk mempercepat perbaikan ekonomi Jepang pasca gempa dan tsunami. Wajar, jika menimbulkan kecurigaan tentang misi-misi penguasaan industri di baliknya. Ini tentang isu pemanfaatan situasi saat ini. Indonesia boleh saja ikut menyingsingkan lengan baju dalam membantu perbaikan kondisi Jepang yang tengah terkena bencana, namun tidak harus melelang celengan kekayaan alam dan tanahnya yang subur kepada pihak asing.

Industrialisasi yang tengah berkembang di Indonesia saat ini sedang mengalami kemelut dan goncangan. Seperti yang dipaparkan oleh Dirjen Kerjasama Industri Internasional (KSII) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Agus Tjahajana, dihari yang bersamaan, tentang survei dampak penerapan CAFTA di Indonesia yang menunjukkan peningkatan volume impor barang jadi dari China.

Hal ini mengindikasikan penyebab penurunan produksi sektor industri nasional. Selain itu, penurunan juga terjadi pada penjualan, omzet, hingga jumlah penyerapan tenaga kerja. Artinya, jika pemerintah mengadakan relokasi industri asing tersebut, hanya akan memperkeruh masalah yang tengah terjadi.

Relokasi yang rencananya dilakukan di Indonesia wilayah timur tersebut memang masih dalam tahapan lobi diplomatik. Kenyataannya, justru pihak Indonesialah yang menawarkan diri untuk mengadakan relokasi tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan rencana pengadaan infrastruktur untuk menarik minat investor Jepang, ditambah lagi pernyataan lanjutan dari Hidayat, “Saya mau menawarkan mereka untuk relokasi beberapa industri komponen (automotif) mereka dan industri yang sudah dilakukan di sini untuk dilakukan join local partner.”

Meskipun kerjasama untuk relokasi ini diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja, namun sama saja ini seperti menghina bangsa sendiri. Ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan potensi yang ada di Indonesia timur justru semakin dipertegas dengan “penyerahan kekuasaan” ke negara maju lainnya. Dalih lobi politik dengan koridor ekonomi untuk masyarakat di Indonesia di wilayah timur dirasa kurang mewakili dalam mengambil keputusan relokasi. Pembangunan industri dari investor Jepang hanya akan menjadi penjajahan model baru di Indonesia. Dampak ini tidak hanya berpotensi dalam menyerang kondisi fiskal kita, namun juga mental rakyat Indonesia.

Ada yang salah dengan mental negara Indonesia saat ini, termasuk sebagian besar aparat pemerintah di dalamnya. Ini tercermin dari rasa tidak percaya diri dalam mengelola kekayaan alam negerinya sendiri. Mengadakan kerjasama relokasi industri Jepang di Indonesia secara tidak langsung sama saja dengan menyerahkan kepercayaan masyarakat kepada orang asing. Dampak jangka panjangnya akan mengikis rasa nasionalisme sebagai negara yang berakar dari pancasila. Kekhawatiran ini tidak serta-merta tanpa dasar, sebab sebagian besar kerjasaam pengadaan industri asing yang ada di Indonesia selalu diwarnai ketidak adilan pembagian kekayaan. Tentunya ini akan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk seluruh rakyat.


Seharusnya pemerintah tidak jor-joran menawarkan kerjasama dengan pihak Jepang terkait relokasi industri seperti yang disampaikan oleh banyak media. Karena sama saja dengan membunuh kepercayaan rakyatnya. Pembunuhan kepercayaan seperti ini semakin mengencangkan kedudukan pihak asing –termasuk Jepang- untuk mengadakan penjajahan modern di Indonesia. Mental percaya diri untuk membangun negerinya dengan caranya sendiri yang harus di dibangun Indonesia, terutama sekali pemerintahnya. Oleh karena itu, sebelum upaya kerjasama relokasi semakin mengerucut pada kesepakatan, pemerintah seyogyanya mengkaji lebih banyak tentang dampak negatif yang ditimbulkannya dalam jangka panjang.

Kondisi industri yang dialami oleh Indonesia saat ini masih kopong. Sebab, belum adanya hubungan kerjasama yang harmonis antara pemerintah, investor lokal, dan masyarakatnya. Terlalu beresiko jika menyediakan lagi tempat bagi industri asing untuk bersaing dengan industri nasional saat ini. Jika penguatan industri nasional telah dilakukan secara sistematis dan konsisten, maka mengundang investor asing akan sangat positif. Bukan lagi fenomena penjajahan ekonomi yang terjadi, melainkan kemitraan yang sejajar dan kerjasama yang konstruktif.

Aldian Farabi
(Direktur UKM Forum for Scientific Studies)
Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian IPB 2008

0 komentar:

Post a Comment