Friday, April 15, 2011

Desa Pengotan, Potret Keaslian Bali


JIKA sedang berlibur di Bali, sempatkanlah menyapa penduduk Desa Pengotan di kawasan Gunung Batur, Kabupaten Bangli. Mereka siap mengajak Anda berpetualang menyelami budaya masyarakat asli Bali.   Desa Pengotan layak dikunjungi karena termasuk salah satu Desa Bali Aga atau Bali Kuna. Masyarakat Desa Pengotan merupakan penduduk asli Bali dan hanya orang suci terpilih yang berhak mengatur tatanan adat di desa itu.
Dari tatanan adat inilah muncul beragam ritual budaya unik dan tidak ditemukan di desa lain, misalnya pernikahan massal yang bisa melibatkan 70 pasangan dan hanya dilakukan dua kali dalam satu tahun atau upacara pemakaman massal tanpa prosesi pembakaran mayat.
Ada pula barong kepet yang disakralkan dan menjadi simbol dewa bagi warga Pengotan. Barong itu hanya digunakan dan baru dapat dilihat masyarakat umum dalam upacara tertentu yang tidak terjadwal secara pasti.
Menurut Pengurus Adat Desa Pengotan, I Ketut Suarno, berbagai ritual itu menyesuaikan penanggalan Bali. Pernikahan massal berlangsung pada sasih (bulan) kedasa (Maret-April) dan kapat (Agustus-September). Sementara upacara pemakaman massal berlangsung di sasih kesanga (Februari).
”Sesuai tuntutan adat, berbagai ritual tidak punya tanggal pastinya. Kadang itu yang menjadi kendala ketika ada wisatawan yang mau kemari,” kata Ketut Suarno. Walaupun sedang tidak ada upacara adat, Desa Pengotan tetap menarik untuk dikunjungi.
Tidak sulit mencapai desa yang berjarak 70 kilometer dari Bandara Internasional Ngurah Rai atau sekitar 50 km dari Denpasar itu. Dari Denpasar, perjalanan dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dengan kendaraan roda empat.


Ada dua rute yang dapat dipilih. Jika ingin cepat sampai, Anda dapat melewati sisi timur melalui Kota Gianyar. Atau jika ingin sekaligus berbelanja barang-barang seni, Anda dapat melewati kawasan Ubud.
Ketika masuk ke Desa Pengotan, suasana desa tradisional sudah terasa. Desa yang berpenduduk 699 kepala keluarga ini memiliki jalan utama desa sepanjang 600 meter dan lebar 5 meter. Jalan ini lurus mengarah ke Pura Penataran Agung Pengotan, pura utama di desa itu.
Di sisi kiri dan kanan jalan itu berdiri tembok yang memagari rumah-rumah warga. Pagar itu mengelilingi sebuah pekarangan yang dihuni satu keluarga besar.
Angkul-angkul atau gerbang tradisional Bali menjadi pintu untuk masuk ke dalam pekarangan yang berisi rumah dan pura kecil itu. Warga Desa Pengotan menyebut tata ruang ini dengan istilah Jajar Wayang.
Menginap di tenda
Pengalaman berlibur di Desa Pengotan semakin lengkap dengan adanya Baliwoso Camping Site, sebuah penginapan berkonsep perkemahan. Para tamu akan bermalam di sebuah tenda berukuran 4 meter x 7 meter.
Penginapan ini terletak sekitar 1 km dari pusat Desa Pengotan. Untuk menuju penginapan, para tamu melewati ladang-ladang milik warga desa. Jalan masuk itu hanya dapat dilalui satu mobil dan tanpa lampu jalan.
Setiba di lokasi penginapan, para tamu akan dimanjakan keasrian berbagai jenis tanaman. Udara pun terasa sejuk karena lokasi ini berada di ketinggian 800 meter hingga 1.100 meter dari permukaan laut.
Ada 10 tenda yang dibangun di antara pepohonan yang rindang. Setiap tenda dapat digunakan 8-10 orang dengan tarif Rp 700.000 per orang per malam. Baliwoso dapat menampung maksimal 200 tamu.
Saat akan tidur pada malam hari, hanya suara jangkrik yang terdengar. Bersiaplah juga karena udara dingin akan masuk ke dalam tenda dan membuat tubuh menggigil, terutama jika musim hujan.
”Tujuan utama kami mengajak tamu merasakan semua pengalaman menjadi warga Desa Pengotan,” kata Fadjri Fauzi, Sales and Marketing Coordinator PT Tri Woso Agro, pengelola Baliwoso. Selama menginap, tamu memiliki berbagai kegiatan yang diadaptasi dari kegiatan sehari-hari warga Pengotan.
Staf Baliwoso yang sebagian besar penduduk Desa Pengotan akan menemani tamu beraktivitas di desa, misalnya membuat kerajinan seni, memainkan alat musik tradisional, atau berkebun.
Seperti siswa sekolah internasional di Bali, Sunrise School, yang menginap selama dua hari pada pertengahan Maret lalu, juga tidak pernah berhenti beraktivitas. Mereka sibuk berlatih tari Bali, membuat penjor (hiasan adat Bali), mengambil madu, hingga mengunjungi SD Negeri I Pengotan untuk bermain dan belajar bersama siswa di sekolah itu.
Selama menginap, siswa Sunrise School ditemani anak-anak Desa Pengotan yang masih sekolah di bangku SD. ”Selain belajar budaya Bali, siswa saya juga dapat berinteraksi dengan bumi,” kata guru Sunrise School, Hetty Bradley.
Ungkapan Hetty rasanya tidak berlebihan karena semua tamu Baliwoso diajak untuk menyayangi lingkungan seperti halnya orang Pengotan, misalnya sebelum checkout, ada satu syarat yang harus dipenuhi. Anda diminta menanam satu bibit pohon.
Nah, sudah siapkah Anda menjadi ”warga” Desa Pengotan?
Oleh: Herpin Dewanto

0 komentar:

Post a Comment